Menurut penjelasan dari Wakil Katib Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Blitar, Ustaz Muhammad Zainul Millah, hukum vasektomi dalam ajaran Islam umumnya dianggap sebagai haram karena dapat mengakhiri keturunan secara permanen. Namun, dalam keadaan darurat, hukum haram tersebut bisa berubah menjadi diperbolehkan, terutama jika ada alasan medis yang sangat mendesak. Penegasan tentang sterilisasi vasektomi dalam keputusan Muktamar NU di Yogyakarta menyatakan bahwa sterilisasi boleh dilakukan selama bisa dikembalikan ke kondisi semula dan tidak merusak atau menghilangkan fungsi organ tubuh. Dengan demikian, vasektomi yang bersifat permanen dianggap tidak diperbolehkan menurut hukum Islam.
Larangan vasektomi tersebut hanya berlaku di luar kondisi darurat. Dalam situasi darurat, maka dilakukan vasektomi dengan menerapkan kaidah fiqih yang menyebutkan bahwa jika dua penyebab mudarat bertentangan, maka yang perlu diperhatikan adalah yang paling berbahaya dengan risiko paling kecil. Pandangan tersebut juga dikuatkan dengan kutipan pendapat Muktamar NU yang menjelaskan pemakaian obat yang menunda atau memutus kehamilan secara permanen. Dalam kasus tersebut, dianggap sebagai makruh dalam kasus pertama dan diharamkan dalam kasus kedua. Namun, dalam kondisi darurat, berlaku kaidah fiqih yang memprioritaskan mafsadah yang paling berbahaya dengan merisikokan yang paling rendah. Terlepas dari perbedaan pandangan, penting untuk mengingat bahwa keputusan sterilisasi dan tindakan medis lainnya harus diperhitungkan dengan matang, terutama dalam konteks ajaran Islam.