Syekh Salim bin Abdillah Al-Hadrami menjelaskan:
“Uzur-uzur shalat itu ada dua, maksudnya adalah orang yang mengakhirkan shalat dari waktunya dengan sebab tersebut tidak berdosa, yaitu; (1) tidur; dan (2) lupa,” (Nailur Raja bi Syarhi Safinatin Naja, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: tt], halaman 59-60).
Karena itu, orang yang merawat pasien di rumah sakit atau tempat lain tidak boleh mengabaikan shalat, karena kondisi itu tidak dianggap sebagai uzur dalam shalat.
Jika dia meninggalkan shalat dalam kondisi tersebut, maka dia berdosa. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Syekh Nawawi Banten:
“Maka wajib menunaikan shalat pada waktu-waktu tersebut. Adapun mengedepankan shalat dari waktunya atau mengakhirkan shalat dari waktunya, merupakan paling besarnya maksiat dan paling jeleknya perbuatan jelek,” (Sullamul Munajah ‘ala Safinatis Shalah, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: tt], halaman 27).
Karena itu, shalat adalah kewajiban mutlak yang harus dijaga oleh semua umat Islam yang sudah baligh, berakal, laki-laki maupun perempuan, serta suci dari haid dan nifas bagi wanita. Orang-orang yang sudah memenuhi syarat wajib tersebut, tidak boleh meninggalkan shalat dalam keadaan apapun, termasuk merawat orang sakit.
“Bila terlanjur tidak shalat bagaimana? Perlu diketahui, setiap kewajiban dalam Islam harus dilakukan sesuai dengan ketentuan dan waktunya. Jika tidak memungkinkan, sebagaimana dalam pertanyaan di atas, maka tetap diwajibkan untuk menggantinya atau qadha di luar waktu yang telah ditentukan.”
Misalnya tidak shalat Dzuhur pada waktunya, maka segera gantilah shalat tersebut; atau jika masih sangat sibuk merawat orang sakit, maka bisa mengikuti pendapat yang memperbolehkan penundaan shalat qadha, sebagaimana pendapat Sayyid Abdullah Al-Hadad, asal jangan sampai menyepelekannya.
“Dan wajib bagi orang yang bertaubat untuk mengqadha (mengganti) kewajiban-kewajiban yang ia lalaikan, seperti shalat, puasa, dan zakat. Ia harus melakukannya, namun dapat dilakukan secara bertahap dan sesuai kemampuan, tanpa kesempitan waktu dan tanpa menyepelekannya,” (Abdurrahman Al-Hadrami, Bughyatul Mustarsyidin, [Beirut: Darul Fikr, tt], halaman 71).