Anak-anak yang menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau bahkan menjadi korban kekerasan berisiko mengalami gangguan kesehatan fisik dan mental jangka panjang. Selain itu, anak yang menyaksikan KDRT antara orangtuanya pun berisiko lebih tinggi melakukan kekerasan serupa di masa depan.
Menurut laman dp3ak.jatimprov.go.id, anak yang melihat salah satu dari orangtuanya menjadi korban KDRT akan merasa takut dan cemas. Mereka mungkin akan selalu berjaga-jaga, khawatir hal tersebut akan terulang lagi.
Reaksi anak yang menyaksikan orangtuanya terlibat dalam KDRT akan berbeda-beda berdasarkan usia mereka. Berikut ini adalah reaksi anak sesuai dengan kelompok usia mereka.
Bayi (0-2 tahun): Bayi yang berada dalam keluarga yang terlibat dalam KDRT berpotensi mengalami gangguan pada kelekatannya dengan pengasuh, gangguan tidur, gangguan makan, dan risiko luka fisik yang lebih tinggi.
Balita: Anak yang menyaksikan KDRT pada kedua orangtuanya dapat mengalami regresi, seperti mengalami kemunduran seperti ketika mereka lebih kecil, seperti mengompol, menghisap jari, menangis dan merengek lebih sering. Mereka juga mungkin kesulitan tidur, takut bicara, bersembunyi, dan menunjukkan gejala kecemasan perpisahan yang berat.
Usia 7-12 tahun: Anak pada usia tersebut mungkin menunjukkan rasa bersalah mengenai kekerasan dan menyalahkan diri sendiri. KDRT dan kekerasan dapat merusak harga diri anak, membuat mereka minder dan kurang percaya diri. Mereka mungkin tidak berpartisipasi dalam aktivitas sekolah, mendapat nilai yang buruk, memiliki sedikit teman, dan sering terlibat dalam masalah. Mereka juga sering merasa pusing dan sakit perut.