Saturday, September 21, 2024
HomeprabowoDiplomasi di Era Prabowo: Warisan dan Wawasan dari Prof. Sumitro Djojohadikusumo

Diplomasi di Era Prabowo: Warisan dan Wawasan dari Prof. Sumitro Djojohadikusumo

Bagaimana Kebijakan Diplomasi Luar Negeri Indonesia Akan Terlihat di Era Presiden Prabowo Subianto?

Sebagai putra dari Sumitro Djojohadikusumo, banyak yang mengantisipasi bahwa banyak strategi diplomatik dari Prof. Sumitro akan diwarisi dan dilaksanakan oleh putranya, Presiden terpilih Prabowo Subianto.

Pendekatan ini melibatkan memanfaatkan kekuatan narasi dan kekerabatan untuk membangun kekuatan lunak Indonesia.

Dikenal sebagai seorang ekonom Indonesia yang terkemuka, tidak banyak yang menyadari bahwa Prof. Sumitro juga seorang diplomat yang luar biasa.

Salah satu contoh signifikan dari upaya diplomatik Prof. Sumitro terdokumentasi dalam sebuah artikel New York Times.

Plea Sumitro pada usia 31 tahun kepada pemerintah AS, yang dipublikasikan dalam New York Times pada 21 Desember 1948, berhasil menghentikan aliran dana bantuan Amerika ke Belanda, yang digunakan untuk operasi militer Belanda menyusul Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Prof. Sumitro menulis:

“Pengecaman militer Belanda saat ini sayangnya telah membawa realisasi yang mengerikan terhadap kekhawatiran yang telah diungkapkan oleh semua orang yang berhati baik. Dalam sejarah modern bangsa-bangsa, hanya berdirinya Mussolini pada 1940 dan serangan mendadak Jepang ke Pearl Harbor pada 1941 bisa dibandingkan dengan aksi Belanda yang tercela ini tanpa peringatan.”

“Tidak ada alternatif lain bagi Republik Indonesia selain menjalani kehidupannya sendiri dan melanjutkan kemampuannya sebaik-baiknya sebagai negara berdaulat yang terpisah dan mandiri.”

“Kami dengan hormat namun mendesak meminta Pemerintah Amerika Serikat untuk menghentikan aliran dolar Amerika ke Belanda dalam Kerja Sama Pemulihan Eropa atau yang lainnya.”

Pada saat itu, Sumitro Djojohadikusumo, ayah Prabowo Subianto, menjabat sebagai Kepala Delegasi Indonesia di PBB.

Setelah Perang Dunia II, Belanda pada dasarnya bangkrut dan tergantung pada bantuan rekonstruksi Amerika di bawah Rencana Marshall, yang disalahgunakan untuk mendanai operasi militernya di Indonesia.

Sumitro, yang saat itu berusia 31 tahun, ditugaskan oleh Presiden Sukarno untuk menghentikan dana Amerika yang digunakan oleh Belanda untuk ambisi kolonialnya di Indonesia.

Sumitro melakukan lobi kepada pejabat AS di Washington dan PBB di New York.

Berkat upaya Sumitro, Menteri Luar Negeri AS, Robert A. Lovett akhirnya menghentikan bantuan ke Belanda, karena klaim Sumitro terbukti: dana tersebut digunakan untuk operasi militer di Indonesia.

Berhentinya bantuan memaksa Belanda untuk bernegosiasi dengan Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar, akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia.

Usia muda Sumitro dan kecerdasannya dalam narasi dan negosiasi, serta keterampilan jaringannya di tingkat internasional, membuat Presiden Sukarno menugaskannya tugas yang sangat penting ini.

Keberhasilan diplomasi naratif dan kekerabatan Sumitro memainkan peran penting dalam mengamankan kemerdekaan Indonesia setelah proklamasi.

Presiden Sukarno menunjuk Sumitro sebagai Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat pada usia 33 tahun.

Source link

RELATED ARTICLES

Berita populer