Magang
– 20 Juli 2024 | 10:07 – Dibaca 814 kali
Koordinator Cek Fakta Tempo, Ika Ningtyas, seusai menjadi pembicara pada acara Roadshow Media Jatim Summit di Pendopo Wahyawibawagraha Pemkab Jember, Jumat (19/7/2024). (Foto: Fathur Rozi untuk Suara Indonesia)
SUARA INDONESIA, JEMBER – Hari ini, kecerdasan buatan atau Augmented Intelligence (AI), banyak digunakan oleh masyarakat untuk mempermudah pekerjaan. Seperti mencari informasi melalui Chat Gpt, hingga memproduksi gambar dan audio sesuai kebutuhan. Namun hal tersebut ternyata memiliki masalah dalam konteks Hak Asasi Manusia (HAM).
Selain memiliki sisi positif, AI juga mempunyai masalah yang harus diantisipasi. Karena setidaknya, terdapat tiga risiko utama. Pertama, mengenai hak cipta, mengingat AI dilatih dengan banyak informasi yang diperoleh dari karya orang lain.
“Bagaimana dengan penghormatan pada hak ciptanya,” ujar Ika Ningtyas, Koordinator Cek Fakta Tempo, seusai menjadi pembicara pada acara Roadshow Media Jatim Summit di Pendopo Wahyawibawagraha Pemkab Jember, Kamis (19/7/2024). Acara ini mengusung tema “Kiat Produksi Konten Digital dengan AI Berbasis Fakta & Data”.
Kedua, mantan Sekretaris Aliansi Jurnalis Independen (AJI) ini menambahkan, ialah ancaman terhadap privasi. Mengingat informasi yang dikutip salah satunya berasal dari pengguna internet, sehingga hal tersebut berpotensi menjadi masalah di kemudian hari.
Ketiga, AI juga digunakan oleh sebagian orang untuk memproduksi hoaks. Tujuannya agar dapat memengaruhi dan menyesatkan publik. “Hal ini menjadi konsen dalam pemilu maupun pada isu-isu HAM lainnya. Dan itu juga sudah terjadi di negara kita pada Pemilu 2024 lalu,” tambahnya.
Sehingga, kata mantan Ketua AJI Jember ini, masalah tersebut seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah dalam mengatur AI. Untuk menyeimbangkan antara perkembangan teknologi, inovasi dan hak asasi manusia.
Di lain sisi, perusahaan AI juga memiliki tugas untuk lebih menghormati perihal hak cipta, hak atas privasi, serta mengurangi misinformasi. “Tentunya juga memberikan kompensasi-kompensasi atas penggunaan hak ciptanya,” jelas dia.
Sementara itu, penggunaan AI tidak memberikan jaminan informasi yang diberikan sepenuhnya benar. Hal tersebut, Ika menuturkan, dinamakan “halusinasi”. Sesuatu yang dipertanyakan, memperoleh hasil yang keliru ataupun kurang akurat.
“Itu bisa jadi karena ketidaksempurnaan teknologi AI. Maka dari itu, kita harus memverifikasi ulang atas informasi tersebut, terkait benar dan tidaknya,” ungkapnya.
Selain dari sisi keakuratan, permasalahan lainnya ialah terkait bias. Sebab, AI dibuat oleh negara-negara utara, seperti Rusia, China dan Amerika. Informasi yang dilatih dalam teknologi AI, bersumber dari negara tersebut.
“Seperti halnya ketika kita mencari tentang perempuan cantik, maka bisa saja yang muncul adalah profil perempuan yang langsing, putih, berambut blonde. Sedangkan di Asia Tenggara, perempuannya lebih beragam. Hal itu bisa terjadi sebab informasi yang dilatih tidak sempurna atau bias,” pungkasnya. (*)
» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA
Pewarta | : Magang |
Editor | : Mahrus Sholih |