Saturday, September 21, 2024
HomeprabowoKualitas Pemimpin Militer Sejati

Kualitas Pemimpin Militer Sejati

Pelatih saya dari generasi ’45 adalah pemimpin lapangan, komandan kekuatan tempur, dan pemimpin militer. Ada lima hal yang saya pelajari dari mereka yang telah membentuk kepribadian saya: Pertama, Patriotisme, cinta mereka pada tanah air tidak pernah pudar meskipun usia mereka sudah lanjut; Kedua, Keyakinan; Ketiga, Intelektualitas, mereka adalah pembelajar seumur hidup dan sangat gemar belajar tentang hal-hal di luar ranah mereka; Keempat, Humor yang Baik, yang memungkinkan mereka untuk terhubung secara emosional dengan bawahan dan orang-orang yang mereka pimpin; Kelima, Fleksibilitas, mereka tidak terlalu terikat pada protokol.

Sikap dan kepemimpinan seorang pemimpin militer terbentuk di medan perang. Sebagai seorang perwira muda, saya beruntung telah menerima pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan mentoring dari banyak tokoh perang kemerdekaan dan operator militer pada awal berdirinya Republik Indonesia. Pada saat itu, tidak ada jaminan bahwa Republik bisa bertahan. Pemerintah tidak memiliki anggaran, baik untuk pembangunan maupun untuk militer. Kebangkitan bangsa ini semata-mata ditentukan oleh puluhan ribu orang Indonesia dari berbagai kelompok etnis, ras, suku, agama, dan wilayah. Mereka dihadapkan pada pilihan antara bergabung dengan gelombang kemerdekaan atau memilih untuk bermain aman karena risikonya terlalu besar. Tapi banyak yang memilih mengorbankan nyawa untuk berjuang demi kemerdekaan sehingga kita akhirnya bebas dari belenggu kolonialisme yang telah berlangsung selama ratusan tahun. Mereka adalah orang-orang yang kita kenal sebagai generasi ’45. Mereka adalah ‘generasi pejuang’. Mereka dapat dianggap sebagai generasi terbaik Indonesia. Sebagai seorang kadet muda di Akademi Angkatan Bersenjata dan kemudian sebagai seorang perwira muda, saya merasa sangat beruntung telah memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan banyak tokoh dari generasi ’45. Bahkan beberapa anggota keluarga saya adalah bagian dari generasi ini. Kakek saya, Margono Djojohadikusumo, dipercayakan oleh Bung Karno untuk melanjutkan perjuangan kemerdekaan ketika Bung Karno dan semua tokoh nasionalis pribumi ditangkap dan diasingkan oleh Belanda dari Jawa pada tahun 1934. Sehari sebelum Bung Karno hendak diasingkan ke kota kecil Ende, di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, beliau memanggil Pak Margono. Bung Karno memberikan mandat kepada kakek saya untuk membantu mendirikan Partai Indonesia Raya (PARINDRA) dan sekaligus menjabat sebagai ketuanya. Pada waktu itu, Partai Nasional Indonesia (PNI), partai utama dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, dibubarkan oleh Belanda. Hampir seluruh tokoh utamanya ditangkap. Ketika Bung Karno tiba di Jakarta setelah dibebaskan oleh Belanda dari pengasingan, Pak Margono segera datang menemui beliau dan mengembalikan mandat itu. Demikian pula, kedua putranya, Kapten Subianto Djojohadikusumo dan Kadet Sujono Djojohadikusumo juga bagian dari generasi ’45. Kedua paman saya meninggal dalam pertempuran melawan pasukan Jepang di Lengkong, Serpong, Tangerang Selatan, Banten pada 25 Januari 1946. Dalam peristiwa yang dikenal sebagai Pertempuran Lengkong, para kadet Akademi Militer Tangerang yang dipimpin oleh Mayor Daan Mogot mencoba merebut senjata dari markas tentara Jepang. Namun, hampir seluruh kadet tewas dalam pertempuran, termasuk komandannya dan kedua paman saya. Pada saat yang sama, ayah saya, Soemitro Djojohadikusumo, setelah kembali dari Belanda sebagai orang Indonesia pertama yang lulus dengan gelar Doktor Ekonomi, yang ia peroleh dari Universitas Rotterdam, langsung bergabung dalam perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Dia terlibat dalam penyelundupan karet dan kopra dari Indonesia untuk membiayai penyelundupan senjata ke negara itu untuk mendukung pasukan Indonesia. Dia juga berperan penting dalam mencetak uang kertas Indonesia pertama yang dikenal sebagai ORI (Oeang Republik Indonesia). Pada usia 29 tahun, ia menjadi asisten pribadi Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Saya lahir pada tahun 1951, sepuluh bulan setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia. Kenangan pertama saya sebagai anak adalah mengunjungi Taman Makam Pahlawan (TMP), di mana kedua paman saya dimakamkan dan mengunjungi rumah kakek nenek saya di hari Minggu. Kakek nenek saya selalu mendirikan tenda militer paman saya di halaman sebelum saya tiba. Itu adalah perlengkapan yang selalu menyambut saya. Kakek saya juga menunjukkan kepada saya dua tempat tidur paman saya, ransel, dan helm mereka yang disimpan. Bahkan seragam mereka masih rapi dilipat, dan sepatu militer mereka yang diletakkan di ujung lain tempat tidur mereka selalu mengkilap. Dengan halus, kakek nenek saya menunjukkan seberapa besar mereka menghargai dan menghormati pengorbanan paman mereka yang gugur untuk kemerdekaan, kedaulatan, dan kehormatan bangsa Indonesia. Dari situlah muncul semangat ’45 yang disebut-sebut. Ini adalah semangat yang bertujuan untuk mengangkat Indonesia menjadi negara yang mandiri, yang dapat dihormati, dan adil, dengan warga negara yang makmur, bahagia yang berada sejajar dengan negara-negara lain. Atmosfer inilah yang secara tidak sadar menjadi bagian dari transfer nilai dari generasi ’45 ke generasi berikutnya, termasuk kepada saya. Keluarga saya adalah keluarga dari generasi ’45. Saya tumbuh dalam lingkungan pejuang kemerdekaan. Sering disebut sebagai lingkungan ‘republikan’, menggunakan terminologi saat itu. Generasi ’45 naik ke panggung karena mereka tidak ingin diperlakukan lebih rendah dari anjing oleh penjajah. Di masa lalu, mereka biasa mendengar frasa verboden voor Honden en Inlanders (anjing dan pribumi dilarang masuk) dan melihatnya tertulis di dinding banyak tempat usaha. Bahkan pada tahun 1978, saat saya menjabat sebagai Komandan Kompi di Grup 1 Pasukan Khusus (KOPASSUS), saya menemukan frasa ini di sebuah kolam renang di Manggarai, Jakarta Selatan. Itu terukir di dinding marmer di sela kolam renang. Tapi pada saat itu, tulisan itu tertutup lumut hijau. Rasa ingin tahu saya mendorong saya untuk memerintahkan anak buah saya untuk membersihkan lumut itu. Dan untuk kejutan saya, jelas bagaikan siang hari, adalah frasa Belanda: Verboden voor Honden en Inlanders. Anjing dan pribumi tidak diizinkan masuk ke kolam renang ini. Apa yang lebih menyakitkan, adalah bahwa kami, pribumi, datang setelah anjing-anjing. Pada waktu itu, Belanda menganggap anjing lebih dihormati daripada kita, pribumi dari tanah ini. Selain tumbuh dalam keluarga pejuang kemerdekaan, saya juga beruntung dapat berinteraksi langsung dengan tokoh kunci generasi ’45. Saya sering mengunjungi rumah Pak Mohammad Hatta, Wakil Presiden pertama. Pak Margono dulunya adalah sekreterisnya. Suatu ketika, ayah saya, Pak Soemitro, bahkan membawa saya ke Istana Presiden ketika saya berusia sekitar 6 atau 7 tahun. Bung Karno melihat saya dan sebentar mengangkat saya. Ketika saya masih anak-anak, rumah kami sering dihiasi oleh tamu-tamu. Kemudian, saya akan mengerti bahwa mereka adalah tokoh-tokoh penting yang memegang peran kunci dalam perang kemerdekaan dan tahun-tahun pembentukan bangsa. Demikian pula, saat saya bergabung dengan Akademi Angkatan Bersenjata (AKABRI) di Magelang pada tahun 1970, beberapa instruktur dan komandan saya berasal dari generasi ’45. Mayor Jenderal TNI Sarwo Edhie Wibowo, Gubernur AKABRI (1970-1974), adalah salah satu tokoh besar yang saya temui. Tugas terakhirnya adalah Panglima Kodam XVII/Cenderawasih, dan ia pensiun dengan pangkat Letnan Jenderal. Saya juga mengenal Brigadir Jenderal Himawan Sutanto, Wakil Gubernur AKABRI, ketika saya masih kadet. Tugas terakhirnya adalah Kepala Staf Umum TNI dengan pangkat Letnan Jenderal. Saya juga mengenal Mayor Jenderal TNI Wijogo Atmodarminto, Gubernur AKABRI (1970-1974). Tugas terakhirnya adalah Panglima Wilayah Pertahanan II, dengan pangkat Letnan Jenderal. Tokoh lain yang saya temui adalah Brigadir Jenderal TNI Sudarto, Komandan Divisi Kadet AKABRI. Selain itu, saya bertemu dengan Mayor Jenderal TNI Purbo S. Suwondo, Wakil Gubernur AKABRI (1962-1966). Tugas terakhirnya adalah sebagai anggota staf Komandan Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (KOPKAMTIB), agensi keamanan internal khusus dan kuat yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden Soeharto, dengan pangkat Letnan Jenderal. Kemudian ada Mayor Jenderal Soesilo Soedarman yang kemudian menjadi Jenderal TNI (Purn.), tugas terakhirnya adalah Panglima Wilayah I dan IV. Saya juga mengenal Kolonel Infanteri Susanto Wismoyo, yang pensiun dengan pangkat Brigadir Jenderal dan tugas terakhirnya adalah Pangdam XIII/Merdeka. Selanjutnya, melalui tugas saya sebagai perwira muda, saya juga berinteraksi dengan Mayor Jenderal Benny Moerdani. Ia kemudian menjadi Jenderal TNI sebagai Panglima TNI. Brigadir Jenderal Ali Moertopo kemudian menjadi Letnan Jenderal TNI dengan tugas terakhir sebagai Wakil Kepala …

Source link

RELATED ARTICLES

Berita populer