Ketua Program Studi HI UKI: Regulasi Spionase Harus Tegas
Regulasi terkait spionase perlu diatur dengan sangat detail oleh negara. Sebab aturan yang ketat akan mencegah dampak yang tidak diinginkan di masa depan. Hal ini disampaikan oleh Ketua Program Studi Hubungan Internasional dan Direktur CSJGR Universitas Kristen Indonesia (UKI), Arthuur Jeverson Maya, saat menghadiri seminar dengan tema “Aturan Tambahan dalam Spionase: Jejaring atau Kuasa, Sebuah Diskursus” yang diselenggarakan oleh Center for Security and Foreign Affairs (CESFAS) UKI bekerja sama dengan Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia (UI).
“Penting untuk memiliki regulasi yang jelas dan tegas dalam mengatur kegiatan spionase, agar tidak menimbulkan masalah etika dan hukum di kemudian hari,” kata Arthuur di UKI, pada hari Selasa (11/6).
Seperti yang diungkapkan dalam laporan alat sadap Amnesty International, penggunaan alat penyadapan canggih oleh beberapa pemerintah bisa melanggar hak asasi manusia. Untuk melindungi diri, dianjurkan untuk memperbarui perangkat lunak, menggunakan kata sandi yang kuat, dan berhati-hati dalam membagikan informasi secara online.
Pada kesempatan tersebut, Arthuur juga menyoroti mengenai kontradiksi dalam hubungan antara negara dan spionase, serta pentingnya kemajuan teknologi dalam akses informasi.
“Spionase merupakan bentuk perang rahasia yang melibatkan kegiatan pengawasan dan pengumpulan informasi secara diam-diam,” ujarnya.
Arthuur mengakui adanya kontradiksi antara keterbukaan dan kerahasiaan dalam hubungan negara dan spionase. Negara harus bersikap transparan untuk menjaga legitimasi dan kepercayaan publik, namun di sisi lain, kerahasiaan diperlukan untuk melindungi keamanan nasional.
Kemajuan teknologi dalam akses dan analisis informasi juga menjadi perhatian Arthuur. Perbedaan dalam kecepatan akses informasi dapat menjadi tantangan besar.
“Negara harus terus memperbarui dan meningkatkan teknologi mereka untuk memastikan bahwa informasi bisa diperoleh dan digunakan secara efektif,” tambahnya.
Sementara itu, Anggota Komisi I DPR RI, Tubagus Hasanuddin, berbicara mengenai pengalaman dan pandangannya tentang intelijen. Dia membahas evolusi intelijen dari masa lalu hingga sekarang, pentingnya teknologi dalam kegiatan intelijen, serta tantangan dalam penyadapan.
“Di masa lalu, operasi intelijen dilakukan dengan sumber daya yang terbatas dan teknologi yang kurang memadai, sehingga situasinya sering disebut senyap dan berbahaya,” ungkap Hasanudin.
Untuk mengikuti perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, UU No. 17 Tahun 2017 disusun dan disahkan untuk mengatur praktik intelijen. Meskipun masih ada banyak kekurangan yang perlu diperbaiki dalam hal penyadapan.
“Penyadapan tetap penting dilakukan untuk mengungkap tindakan kriminal yang merugikan banyak orang,” ujar Hasanudin.
Seminar ini bertujuan untuk membahas isu spyware dan menekankan pentingnya regulasi yang dapat mengakomodasi keamanan nasional dan hak-hak sipil secara seimbang. Dengan kehadiran pakar dan praktisi di bidang ini, diharapkan seminar ini dapat memberikan kontribusi dalam perumusan kebijakan yang lebih baik di masa depan.
Diskusi juga menyoroti pentingnya regulasi yang seimbang antara keamanan nasional dan hak-hak sipil. Melalui diskusi dan pandangan dari para ahli dan praktisi, acara ini berhasil memberikan wawasan baru dan membuka ruang dialog yang konstruktif mengenai masa depan regulasi spionase di Indonesia.
Dengan demikian, Indonesia diharapkan dapat menghadapi tantangan keamanan yang semakin kompleks di era digital dengan lebih siap dan responsif. Turut hadir dalam diskusi adalah Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UKI, Verdinand Robertua; Direktur CESFAS, Darynaufal Mulyaman; Hoga Saragih dari Universitas Bakrie; Direktur Riset ISI (Indo-Pacific Strategic Intelligence), Aishah Rasyidilla Kusumasomantri; dan Guru Besar Keamanan Internasional UKI, Angel Damayanti. (Dikutip dari: https://www.rmoljabar.id/2024/06/11/ketua-prodi-hi-uki-regulasi-spionase-harus-jelas-dan-tegas)