Mengingat hanya ada satu kelas yaitu KRIS saat peserta BPJS Kesehatan menjalani rawat inap, maka muncul pertanyaan tentang penyesuaian iuran.
Terkait penyesuaian iuran BPJS Kesehatan di era KRIS, Kementerian Kesehatan mengatakan bahwa masih perlu dilakukan pembahasan lebih lanjut.
“Iuran ke depan akan melalui pembahasan lebih lanjut. Untuk membuat kebijakan, harus berdasarkan evaluasi. Apakah dibutuhkan iuran baru, manfaat baru, jadi masih perlu dilihat dari evaluasi,” kata Irsan.
Hal yang sama juga disampaikan oleh BPJS Kesehatan, di mana untuk menentukan tarif iuran yang baru perlu berkoordinasi dengan berbagai instansi, mulai dari Kementerian Kesehatan, BPJS Kesehatan, Kementerian Kesehatan, dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN).
“Tidak mudah menetapkan iuran BPJS Kesehatan. Sehingga, untuk saat ini tidak dapat disampaikan mengenai iuran (saat KRIS berlaku),” kata Rizzky.
Namun, Rizzky menyatakan bahwa sampai saat ini iuran peserta BPJS Kesehatan masih belum mengalami perubahan atau penyesuaian. Artinya, masih menggunakan sistem kelas 1, 2, dan 3.
“Hingga saat ini, pelayanan di fasilitas kesehatan tetap sama, seperti sebelum Perpres 59 ini diberlakukan,” ujar Rizzky.
Kemungkinan tarif tunggal juga mulai diperhitungkan dengan diterapkannya sistem KRIS. Peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) kemungkinan tidak lagi membayar sesuai dengan kelas yang dipilih.
“Iuran tunggal ini tidak mungkin lebih dari Rp150.000, tidak mungkin lebih dari Rp100.000, menurut saya antara Rp35.000 sampai Rp100.000,” ujar Timboel Siregar dari BPJS Watch.
Timboel memperkirakan bahwa iuran bisa ditetapkan sebesar Rp75.000 per orang per bulan bagi peserta mandiri. Besaran ini dianggap akan memberatkan semua pihak, mulai dari peserta JKN, hingga penanggung layanan, dan BPJS Kesehatan.
Dengan adanya potensi peningkatan tunggakan dari peserta BPJS Kesehatan, hal ini dianggap bisa membuat peserta JKN dianggap tidak aktif, sehingga ketika mendatangi fasilitas kesehatan tidak dapat dilayani.