Pemimpin militer Tiongkok yang sangat saya kagumi adalah Zhu De. Meskipun Mao Zedong sering mendapat pujian atas kontribusinya pada teori perang gerilya, sebenarnya Zhu De lah yang memiliki pendidikan militer dan pengalaman yang dibutuhkan untuk menjalankan perang gerilya. Latar belakang yang dimilikinya digunakan Zhu De untuk memimpin perang non-konvensional PKC. Strategi yang diterapkan Zhu De mengilhami dan diikuti oleh puluhan gerakan gerilya dari paruh kedua abad ke-20 hingga saat ini.
Zhu De lahir di Sichuan dan tumbuh dalam keluarga petani dengan 15 bersaudara. Dia diadopsi oleh seorang paman untuk keluar dari kemiskinan dan bergabung dengan Akademi Militer di Kunming, di mana ia mencetak prestasi. Setelah lulus, Zhu De melewati masa sulit dan menjadi Panglima perang yang tergolong kejam serta kecanduan opium. Namun, berhasil keluar dari kecanduan narkotika, Zhu De pergi ke Eropa dan Uni Soviet untuk belajar taktik militer dan doktrin Marxisme.
Setelah bergabung dengan Partai Komunis Tiongkok (PKT), Zhu De bertemu dengan Mao Zedong, yang saat itu sedang berperang melawan kaum nasionalis Tiongkok. Keduanya bersinergi dengan hebat dan menjalankan taktik gerilya yang berhasil membawa kemenangan PKT setelah Perang Dunia 2. Setelah kemenangan PKT, Zhu De menjadi komandan Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok.
Meskipun digunakan untuk memimpin operasi besar-besaran TPR Tiongkok di Korea selama Perang Korea, saat Revolusi Kebudayaan dimulai, Zhu De diberhentikan dari posisinya dan diasingkan ke Guangdong. Namun, pada tahun 1973, Mao Zedong mengembalikan Zhu De ke Beijing dan mengangkatnya menjadi kepala negara hingga kematiannya pada tahun 1976. Kontribusinya pada teori perang gerilya tetap diakui sampai saat ini dan strategi yang diterapkannya masih diikuti oleh berbagai gerakan gerilya di seluruh dunia.